
Ayyi Bazin, salah satu penggagas acara ini mengatakan bahwa begitu banyak suri tauladan dan keilmuan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang perlu kita jadikan contoh, pedoman, dan juga perlu kita abadaikan dengan budaya literasi. “Salah satunya sejarah nabi dengan segala contohnya yang termuat dalam kitab Al-Barzanji yang patut kita tiru, patut kita jadikan contoh dan pedoman. Karena itu membudayakan literasi seperti membaca kitab Al-Barzanji sangat penting,” ungkapnya. Senada dengan itu, guru sekaligus Pembina santri, Hj. Avivati Zahriyah Alhafidzoh mengingatkan para santri agar lebih giat dalam menuntut ilmu, demikian halnya melakukan kegiatan literasi. “Santri itu harus selalu didepan menjadi andalan bangsa. Ilmu dan literasi itu menjadi kunci penting agar santri dapat memberikan sumbangsih berarti bagi negeri. Jangan malu jadi santri, justru kalian harus bangga karena santri adalah asset bangsa,” tambahnya.

Al-Barzanji

Dari sisi sejarah, menurut Sofian, tradisi Al Barzanji terkait erat dengan seremonial perayaan hari kelahiran (Maulid) Nabi. Berdasar catatan Nico Captein, peneliti dari Universitas Leiden, Belanda dipaparkan bahwa perayaan Maulid Nabi pertama kali diselenggarakan dinasti Fatimiyah (909 – 117 M) di Mesir untuk menegaskan jika dinasti itu benar-benar keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis dibalik perayaannya sehingga kurang direspon khalayak luas.
Perayaan Maulid baru kembali mengemuka ketika tampuk pemerintahan Islam dipegang Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi pada 580 H/1184 M. Ia melangsungkan perayaan Maulid dengan mengadakan sayembara penulisan riwayat dan puji-pujian kepada Nabi SAW. Tujuannya adalah untuk membangkitkan semangat Jihad (perjuangan) dan Ittihad (persatuan) terutama para tentara yang tengah menghadapi Perang Salib. Dalam kompetisi ini, kitab berjudul Iqd al Jawahir (untaian permata) karya Syekh Ja`far al-Barzanji tampil sebagai pemenang. Sejak itulah Iqd al Jawahir mulai disosialisasikan pembacaanya ke seluruh penjuru dunia oleh salah seorang gubernur Salahudin yakni Abu Sa`id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak. Namun di Indonesia kitab ini lebih populer dengan sebutan nama pengarangnya, yaitu Al Barzanji.
Menurut Sofian, para santri kini jangan hanya terkesima dengan kitab Al-Barzanji yang memang begitu tenar pada zamannya. Saat ini para santri juga ditantang untuk mampu melahirkan karya sastra serupa yang kelak juga akan menjadi warisan untuk generasi berikutnya. “Kunci literasi itu membaca dan menulis. Para santri harus terbiasa membaca dan juga menulis karya. Siapa yang ingin banyak mengenal dunia maka harus banyak membaca. Dan siapa yang ingin dikenal dunia maka ia harus banyak membuat karya tulis,” ucap Sofian yang saat itu juga dinobatkan sebagai Bapak Literasi Kota Banjar dengan dihadiahi Selendang Sutera dari perwakilan sesepuh santri Pondok Pesantren Al-Azhar Kota Banjar. (Reporter: Septian Muhammad Sofiawan). ***
Sumber : Yayasan Ruang Baca Komunitas (YRBK)
Diunggah : Bidang Informatika Diskominfo Kota Banjar, 2017